Selasa, 06 November 2012

Tulisan (Lokal) Ilmu Sosial Dasar


Fenomena Tawuran Antarpelajar

Tawuran antarpelajar sepertinya menjadi persoalan klasik yang tidak pernah terselesaikan. Bahkan akhir-akhir ini peristiwa tawuran bukan lagi sekadar kenakalan anak-anak atau remaja, melainkan telah menjurus pada perbuatan kriminal (pidana) yang berat karena sudah terjadi pembunuhan yang direncanakan.

Apakah ada  yang salah dengan pendidikan kita, sehingga remaja yang mestinya harus sudah mulai tumbuh kesadaran akan tanggung jawab berbangsa bernegara (nasionalisme), etika (sopan santun/budi pekerti), dan sifat welas asih (kasih sayang/humanisme) kepada sesama tetapi yang terjadi malah sebaliknya? Mereka brutal, beringas dan ingin menghancurkan sesama penuh dengan gelora nafsu merusak. Siapa pun yang melihat peristiwa tawuran ini niscaya akan merasa miris campur sedih dan prihatin, karena anak-anak bangsa yang terlibat tawuran massal telah tumbuh liar menjadi manusia setengah srigala, yakni homo homini lupus (manusia yang satu menjadi serigala bagi lainnya).

Namun, bagaimana pun anak adalah cerminan dari kelakuan orang tua, seperti apakah sebenarnya kedekatan, kasih sayang dan perhatian yang selama ini diberikan kepada anak-anaknya di rumah? Kemudian seperti apakah proses belajar mengajar yang selama ini berkembang di kelas (di sekolah)? Apakah nilai-nilai humanisme (kasih sayang terhadap sesama), nasionalisme (bagaimana kita harus mencintai bangsa dan negara sendiri) dan egaliterisme (kebersamaan dalam kesetaraan) tidak sampai kepada pembentukan karakter para peserta didik kita? Jika tidak sampai, apakah metode pengajarannya yang keliru atau gurunya yang kurang kompeten atau kurikulumnya yang tidak mendukung? Memang benar bahwa pendidikan di sekolah hanyalah merupakan salah satu faktor untuk terjadinya tranformasi nilai-nilai luhur kemanusiaan, tetapi hampir bisa dipastikan ketika transformasi itu gagal maka sistem sosial yang lain akan semakin sulit diharapan, karena pendidikan formal di sekolah telah meyita sebagaian besar waktu dari peserta didik untuk belajar mengenal hidup.

Lepas dari semua sistem pembelajaran yang ada, dendam dan ideologi kekerasan itu menemukan jalannya ketika dibalut dengan atas nama solidaritas. Bisa solidaritas atas nama sekolah, agama, organisasi atau atas nama grup tertentu, dan lainnya.

Sangat boleh jadi ketika anak-anak yang brutal dalam kerumunan masal itu sedang berada di rumah atau di tengah keluarga, sebetulnya mereka semua anak yang baik-baik, tidak beringas seperti ketika mereka solah-olah sedang menemukan common enemy (musuh bersama), ini jelas ada kaitannya dengan patologi sosial (penyakit sosial).

Ideologi kekerasan, jelas menunjukkan ada sistem atau etika sosial yang sakit. Ketika terjadi penindasan, ketidakadilan, pelecehan atau keretakan rumah tangga (anak-anak sudah tentu yang akan menjadi korbannya) dan kesenjangan sosial yang tajam, mereka cenderung akan mencari "pelepasan" dan pelepasan itu bisa disalurkan dengan baik ketika mereka berbaur ramai-ramai menjadi kerumunan massa.

Dalam kerumunan itu sifat-sifat pribadi yang baik telah berubah menjadi kekerasan masal. Contohnya, bila dia seorang diri menemukan ''musuh'' dari sekolah lain, mungkin dia tidak akan langsung menantang berkelahi apalagi sampai membunuh.

Atau contoh lainnya, ketika seseorang mendapati pencuri sepeda motor mungkin sekali dia tidak akan berani melakukan pembakaran hidup-hidup terhadap tersangka pencuri tersebut. Tetapi jika sudah larut menjadi satu dengan kerumunan massa maka sifatnya akan segera berubah, bisa saja orang yang sangat baik akan menjadi sangat beringas. Dia tidak akan pernah menyesal karena ada pembenaran secara psikologis, yakni toh banyak orang yang melakukan. Oleh sebab itu tersangka pembunuh siswa menyatakan "tidak menyesal" atas peristiwa pengeroyokan yang mengakibatkan salah satu siswa terbunuh.

Fenomena sosial seperti itu hanya akan terjadi pada masyarakat yang sakit, yakni masyarakat yang pengap dengan berbagai macam persoalan sosial, ekonomi, hukum dan politik. Tawuran antarpelajar, antarmahasiswa maupun antarkampung dan antarsuku, hanyalah sebagai indikator adanya "ketidakharmonisan sosial". Maka pembenahannya tidak bisa hanya "parsial", harus menyeluruh, mulai dari rumah tangga harus harmonis, hukum juga harus ditegakkan, di sekolah sistem pembelajarannya, juga harus menyenangkan dan merangsang setiap anak untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Hal ini hanya bisa terjadi ketika guru mengajarkan dengan penuh perhatian, kasih sayang dan kejujuran.

SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar