Fenomena Tawuran Antarpelajar
Tawuran
antarpelajar sepertinya menjadi persoalan klasik yang tidak pernah
terselesaikan. Bahkan akhir-akhir ini peristiwa tawuran bukan lagi sekadar
kenakalan anak-anak atau remaja, melainkan telah menjurus pada perbuatan
kriminal (pidana) yang berat karena sudah terjadi pembunuhan yang direncanakan.
Apakah
ada yang salah dengan pendidikan kita, sehingga remaja yang mestinya
harus sudah mulai tumbuh kesadaran akan tanggung jawab berbangsa bernegara
(nasionalisme), etika (sopan santun/budi pekerti), dan sifat welas asih (kasih
sayang/humanisme) kepada sesama tetapi yang terjadi malah sebaliknya? Mereka brutal, beringas
dan ingin menghancurkan sesama penuh dengan gelora nafsu merusak. Siapa pun
yang melihat peristiwa tawuran ini niscaya akan merasa miris campur sedih dan
prihatin, karena anak-anak bangsa yang terlibat tawuran massal telah tumbuh
liar menjadi manusia setengah srigala, yakni homo homini lupus (manusia yang
satu menjadi serigala bagi lainnya).
Namun,
bagaimana pun anak adalah cerminan dari kelakuan orang tua, seperti apakah
sebenarnya kedekatan, kasih sayang dan perhatian yang selama ini diberikan
kepada anak-anaknya di rumah? Kemudian seperti apakah proses belajar mengajar
yang selama ini berkembang di kelas (di sekolah)? Apakah nilai-nilai humanisme
(kasih sayang terhadap sesama), nasionalisme (bagaimana kita harus mencintai
bangsa dan negara sendiri) dan egaliterisme (kebersamaan dalam kesetaraan)
tidak sampai kepada pembentukan karakter para peserta didik kita? Jika tidak sampai, apakah
metode pengajarannya yang keliru atau gurunya yang kurang kompeten atau
kurikulumnya yang tidak mendukung? Memang benar bahwa pendidikan di sekolah
hanyalah merupakan salah satu faktor untuk terjadinya tranformasi nilai-nilai
luhur kemanusiaan, tetapi hampir bisa dipastikan ketika transformasi itu gagal
maka sistem sosial yang lain akan semakin sulit diharapan, karena pendidikan
formal di sekolah telah meyita sebagaian besar waktu dari peserta didik untuk
belajar mengenal hidup.
Lepas
dari semua sistem pembelajaran yang ada, dendam dan ideologi kekerasan itu
menemukan jalannya ketika dibalut dengan atas nama solidaritas. Bisa
solidaritas atas nama sekolah, agama, organisasi atau atas nama grup tertentu,
dan lainnya.
Sangat
boleh jadi ketika anak-anak yang brutal dalam kerumunan masal itu sedang berada
di rumah atau di tengah keluarga, sebetulnya mereka semua anak yang baik-baik,
tidak beringas seperti ketika mereka solah-olah sedang menemukan common enemy
(musuh bersama), ini jelas ada kaitannya dengan patologi sosial (penyakit
sosial).
Ideologi
kekerasan, jelas menunjukkan ada sistem atau etika sosial yang sakit. Ketika
terjadi penindasan, ketidakadilan, pelecehan atau keretakan rumah tangga
(anak-anak sudah tentu yang akan menjadi korbannya) dan kesenjangan sosial yang
tajam, mereka cenderung akan mencari "pelepasan" dan pelepasan itu
bisa disalurkan dengan baik ketika mereka berbaur ramai-ramai menjadi kerumunan
massa.
Dalam
kerumunan itu sifat-sifat pribadi yang baik telah berubah menjadi kekerasan
masal. Contohnya, bila dia seorang diri menemukan ''musuh'' dari sekolah lain,
mungkin dia tidak akan langsung menantang berkelahi apalagi sampai membunuh.
Atau
contoh lainnya, ketika seseorang mendapati pencuri sepeda motor mungkin sekali
dia tidak akan berani melakukan pembakaran hidup-hidup terhadap tersangka
pencuri tersebut. Tetapi jika sudah larut menjadi satu dengan kerumunan massa
maka sifatnya akan segera berubah, bisa saja orang yang sangat baik akan
menjadi sangat beringas. Dia tidak akan pernah menyesal karena ada pembenaran
secara psikologis, yakni toh banyak orang yang melakukan. Oleh sebab itu
tersangka pembunuh siswa menyatakan "tidak menyesal" atas peristiwa
pengeroyokan yang mengakibatkan salah satu siswa terbunuh.
Fenomena
sosial seperti itu hanya akan terjadi pada masyarakat yang sakit, yakni
masyarakat yang pengap dengan berbagai macam persoalan sosial, ekonomi, hukum
dan politik. Tawuran antarpelajar, antarmahasiswa maupun antarkampung dan
antarsuku, hanyalah sebagai indikator adanya "ketidakharmonisan
sosial". Maka pembenahannya tidak bisa hanya "parsial", harus
menyeluruh, mulai dari rumah tangga harus harmonis, hukum juga harus
ditegakkan, di sekolah sistem pembelajarannya, juga harus menyenangkan dan
merangsang setiap anak untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan
lingkungannya. Hal ini hanya bisa terjadi ketika guru mengajarkan dengan penuh
perhatian, kasih sayang dan kejujuran.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar